Pages

Tugas 4 : Makalah

26 Des 2014
Makalah Tentang Korupsi di Indonesia
Etika Bisnis


Nama :         Astried Herera
NPM :         11211278
Kelas :         4EA17


FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS GUNADARMA
JAKARTA
2014

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Tindak perilaku korupsi akhir-akhir ramai di perbincangkan, baik di media massa maupun media cetak. Tindak korupsi ini mayoritas dilakukan oleh para pejabat tinggi negara yang sesungguhnya dipercaya oleh masyarakat luas untuk memajukan kesejahteraan rakyat sekarang malah merugikan negara. Hal ini tentu saja sangat memprihatinkan bagi kelangsungan hidup rakyat yang dipimpin oleh para pejabat yang terbukti melekukan tindak korupsi. Maka dari itu, di sini kami akan membahas tentang korupsi di Indonesia dan upaya untuk memberantasnya.

1.2 Tujuan

Adapun tujuan dapi penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut :
  • Mengetahui pengertian dari korupsi.
  • Mengetahui gambaran umum tentang korupsi Dan Jenis – Jenis Korupsi.
  • Mengetahui persepsi masyarakat tentang korupsi.
  • Mengetahui fenomena korupsi di Indonesia.
  • Mengetahui Kebijakan Pemerintah Dalam Pemberantasan Korupsi
  • Mengetahui Peran Serta Pemerintah Dalam Memberantasan Korupsi
  • Mengetahui peran serta Mayarakat Dalam Upaya Pemberantasan Korupsi.
  • Mengetahui upaya yang dapat ditempuh dalam pemberantasan korupsi.






PEMBAHASAN

A. Pengertian Korupsi

Arti harifiah adalah Kebusukan, keburukan, kebejatan, ke tidak jujuran, dapat di suap, Tidak bermoral, penyimpangan dari ke sucian.Menurut perspektif hukum, definisi korupsi di jelaskan dalam 13 pasal ( UU No.31 Tahun 1999 jo. UU No 20 Tahun 2001) Merumuskan 30 bentuk / Jenis tindak pidana korupsi, yang di kelompokan sebagai berikut:
  1. Kerugian keuangan negara
  2. Suap menyuap
  3. Penggelapan dalam jabatan
  4. Pemerasan
  5. Perbuatan curang
  6. Benturan kepentingan dalam pengadaan
  7. Gratifikasi

B. Gambaran umum Korupsi di Indonesia Dan Jenis - jenis Korupsi

Korupsi di Indonsia dimulai sejak era Orde Lama sekitar tahun 1960-an bahkan sangat mungkin pada tahun-tahun sebelumnya. Pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 24 Prp 1960 yang diikuti dengan dilaksanakannya “Operasi Budhi” dan Pembentukan Tim Pemberantasan Korupsi berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 228 Tahun 1967 yang dipimpin langsung oleh Jaksa Agung, belum membuahkan hasil nyata.

Pada era Orde Baru, muncul Undang-Undang Nomor3 Tahun 1971 dengan “Operasi Tertib”yang dilakukan Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib), namun dengan kemajuan iptek, modus operandi korupsi semakin canggih dan rumit sehingga Undang-Undang tersebut gagal dilaksanakan. Selanjutnya dikeluarkan kembali Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999.

Upaya-upaya hukum yang telah dilakukan pemerintah sebenarnya sudah cukup banyak dan sistematis. Namun korupsi di Indonesia semakin banyak sejak akhir 1997 saat negara mengalami krisis politik, sosial, kepemimpinan, dan kepercayaan yang pada akhirnya menjadi krisis multidimensi.

Gerakan reformasi yang menumbangkan rezim Orde Baru menuntut antara lain ditegakkannya supremasi hukum dan pemberantasan Korupsi, Kolusi & Nepotisme (KKN). Tuntutan tersebut akhirnya dituangkan di dalam Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1999 & Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penye-lenggaraan Negara yang Bersih & Bebas dari KKN.

Jenis-Jenis Korupsi
Menurut UU. No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, ada
tiga puluh jenis tindakan yang bisa dikategorikan sebagai tindak korupsi. Namun secara ringkas tindakan-tindakan itu bisa dikelompokkan menjadi:
  1. Kerugian keuntungan Negara
  2. Suap-menyuap (istilah lain : sogokan atau pelicin)
  3. Penggelapan dalam jabatan
  4. Pemerasan
  5. Perbuatan curang
  6. Benturan kepentingan dalam pengadaan
  7. Gratifikasi (istilah lain : pemberian hadiah).

C. Persepsi Mayarakat tentang Korupsi

Rakyat kecil yang tidak memiliki alat pemukul guna melakukan koreksi dan memberikan sanksi pada umumnya bersikap acuh tak acuh. Namun yang paling menyedihkan adalah sikap rakyat menjadi apatis dengan semakin meluasnya praktik-
praktik korupsi oleh beberapa oknum pejabat lokal, maupun nasional. Kelompok mahasiswa sering menanggapi permasalahan korupsi dengan emosi dan demonstrasi. Tema yang sering diangkat adalah “penguasa yang korup” dan “derita rakyat”. Mereka memberikan saran kepada pemerintah untuk bertindak tegas kepada para koruptor. Hal ini cukup berhasil terutama saat gerakan reformasi tahun 1998. Mereka tidak puas terhadap perbuatan manipulatif dan koruptif para pejabat.

Oleh karena itu, mereka ingin berpartisipasi dalam usaha rekonstruksi terhadap masyarakat dan sistem pemerin-tahan secara menyeluruh, mencita-citakan keadilan, persamaan dan kesejahteraan yang merata.

D. Fenomena Korupsi di Indonesia :

Fenomena umum yang biasanya terjadi di negara berkembang contohnya Indonesia
ialah:
  1. Proses modernisasi belum ditunjang oleh kemampuan sumber daya manusia pada lembaga-lembaga politik yang ada.
  2. Institusi-institusi politik yang ada masih lemah disebabkan oleh mudahnya “oknum” lembaga tersebut dipengaruhi oleh kekuatan bisnis/ekonomi, sosial, keagamaan, kedaerahan, kesukuan, dan profesi serta kekuatan asing lainnya.
  3. Selalu muncul kelompok sosial baru yang ingin berpolitik, namun sebenarnya banyak di antara mereka yang tidak mampu.
  4. Mereka hanya ingin memuaskan ambisi dan kepentingan pribadinya dengan dalih “kepentingan rakyat”.

Sebagai akibatnya, terjadilah runtutan peristiwa sebagai berikut :
  1. Partai politik sering inkonsisten, artinya pendirian dan ideologinya sering berubah-ubah sesuai dengan kepentingan politik saat itu.
  2. Muncul pemimpin yang mengedepankan kepentingan pribadi daripada kepentingan umum.
  3. Sebagai oknum pemimpin politik, partisipan dan kelompoknya berlomba-lomba mencari keuntungan materil dengan mengabaikan kebutuhan rakyat.
  4. Terjadi erosi loyalitas kepada negara karena menonjolkan pemupukan harta dan kekuasaan. Dimulailah pola tingkah para korup.
  5. Sumber kekuasaan dan ekonomi mulai terkonsentrasi pada beberapa kelompok kecil yang mengusainya saja. Derita dan kemiskinan tetap ada pada kelompok masyarakat besar (rakyat).
  6. Lembaga-lembaga politik digunakan sebagai dwi aliansi, yaitu sebagai sektor di bidang politik dan ekonomi-bisnis.
  7. Kesempatan korupsi lebih meningkat seiring dengan semakin meningkatnya jabatan dan hirarki politik kekuasaan.

E. Kebijakan Pemerintah Dalam Pemberantasan Korupsi

Mewujudkan keseriusan pemerintah dalam upaya memberantas korupsi, Telah di keluarkan berbagai kebijakan. Di awali dengan penetapan anti korupsi sedunia oleh PBB pada tanggal 9 Desember 2004, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah mengeluarkan instruksi Presiden Nomor 5tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, yang menginstruksikan secara khusus Kepada Jaksa Agung Dan kapolri:
  1. Mengoptimalkan upaya-upaya penyidikan/Penuntutan terhadap tindak pidana korupsi untuk menghukum pelaku dan menelamatkan uang negara.
  2. Mencegan & memberikan sanksi tegas terhadap penyalah gunaan wewenang yg di lakukan oleh jaksa (Penuntut Umum)/Anggota polri dalam rangka penegakan hukum.
  3. Meningkatkan Kerjasama antara kejaksaan dgn kepolisian Negara RI, selain dengan BPKP, PPATK ,dan intitusi Negara yang terkait denagn upaya penegakan hukum dan pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi

Kebijakan selanjutnya adalah menetapkan Rencana aksi nasional Pemberantasan Korupsi (RAN-PK) 2004-2009. Langkah-langkah pencegahan dalam RAN-PK di prioritaskan pada :
  1. Mendesain ulang layanan publik .
  2. Memperkuat transparasi, pengawasan, dan sanksi pada kegiatan pemerintah yg berhubungan Ekonomi dan sumber daya manusia.
  3. Meningkatkan pemberdayaan pangkat-pangkat pendukung dalam pencegahan korupsi.

F. Peran Serta Pemerintah Dalam Memberantas Korupsi:

Partisipasi dan dukungan dari masyarakat sangat dibutuhkan dalam mengawali upaya-
upaya pemerintah melalui KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan aparat hukum lain. KPK yang ditetapkan melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi untuk mengatasi, menanggulangi, dan memberantas korupsi, merupakan komisi independent yang diharapkan mampu menjadi “martir” bagi para pelaku tindak KKN.

Adapun agenda KPK adalah sebagai berikut :
  1. Membangun kultur yang mendukung pemberantasan korupsi.
  2. Mendorong pemerintah melakukan reformasi public sector dengan mewujudkan good governance.
  3. Membangun kepercayaan masyarakat.
  4. Mewujudkan keberhasilan penindakan terhadap pelaku korupsi besar.
  5. Memacu aparat hukum lain untuk memberantas korupsi.

G. Peran Serta Mayarakat Dalam Upaya Pemberantasan Korupsi Di Indonesia:

Bentuk-bentuk peran serta mayarakat dalam pemberantasan tindak pidana korupsi
menurut UU No. 31 tahun 1999 antara lain adalah sbb :
  1. Hak Mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan tindak pidana korupsi
  2. Hak untuk memperoleh layanan dalam mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah tindak pidana korupsi kepada penegak hukum
  3. Hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kpada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi
  4. Hak memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporan yg di berikan kepada penegak hukum waktu paling lama 30 hari
  5. Hak untuk memperoleh perlindungan hukum
  6. Penghargaan pemerintah kepada mayarakat

H. Upaya yang Dapat Ditempuh dalam Pemberantasan Korupsi

Ada beberapa upaya yang dapat ditempuh dalam memberantas tindak korupsi di Indonesia, antara lain sebagai berikut :
  1. Upaya pencegahan (preventif).
  2. Upaya penindakan (kuratif).
  3. Upaya edukasi masyarakat/mahasiswa.
  4. Upaya edukasi LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat).

Upaya Pencegahan (Preventif)
  1. Menanamkan semangat nasional yang positif dengan mengutamakan pengabdian pada bangsa dan negara melalui pendidikan formal, informal dan agama.
  2. Melakukan penerimaan pegawai berdasarkan prinsip keterampilan teknis.
  3. Para pejabat dihimbau untuk mematuhi pola hidup sederhana dan memiliki tanggung jawab yang tinggi.
  4. Para pegawai selalu diusahakan kesejahteraan yang memadai dan ada jaminan masa tua.
  5. Menciptakan aparatur pemerintahan yang jujur dan disiplin kerja yang tinggi.
  6. Sistem keuangan dikelola oleh para pejabat yang memiliki tanggung jawab etis tinggi dan dibarengi sistem kontrol yang efisien.
  7. Melakukan pencatatan ulang terhadap kekayaan pejabat yang mencolok.
  8. Berusaha melakukan reorganisasi dan rasionalisasi organisasi pemerintahan melalui penyederhanaan jumlah departemen beserta jawatan di bawahnya.

Upaya Penindakan (Kuratif):
  1. Upaya penindakan, yaitu dilakukan kepada mereka yang terbukti melanggar dengan diberikan peringatan, dilakukan pemecatan tidak terhormat dan dihukum pidana. Beberapa contoh penindakan yang dilakukan oleh KPK :
  1. Dugaan korupsi dalam pengadaan Helikopter jenis MI-2 Merk Ple Rostov Rusia milik Pemda NAD (2004).
  2. Menahan Konsul Jenderal RI di Johor Baru, Malaysia, EM. Ia diduga melekukan pungutan liar dalam pengurusan dokumen keimigrasian.
  3. Dugaan korupsi dalam Proyek Program Pengadaan Busway pada Pemda DKI Jakarta (2004).
  4. Dugaan penyalahgunaan jabatan dalam pembelian tanah yang merugikan keuangan negara Rp 10 milyar lebih (2004).
  5. Dugaan korupsi pada penyalahgunaan fasilitas preshipment dan placement deposito dari BI kepada PT Texmaco Group melalui BNI (2004).
  6. Kasus korupsi dan penyuapan anggota KPU kepada tim audit BPK (2005).
  7. Kasus penyuapan panitera Pengadilan Tinggi Jakarta (2005).
  8. Kasus penyuapan Hakim Agung MA dalam perkara Probosutedjo.
  9. Menetapkan seorang bupati di Kalimantan Timur sebagai tersangka dalam kasus korupsi Bandara Loa Kolu yang diperkirakan merugikan negara sebesar Rp 15,9 miliar (2004).
  10. Kasus korupsi di KBRI Malaysia (2005).


Upaya Edukasi Masyarakat/Mahasiswa:
  1. Memiliki tanggung jawab guna melakukan partisipasi politik dan kontrol sosial terkait dengan kepentingan publik.
  2. Tidak bersikap apatis dan acuh tak acuh.
  3. Melakukan kontrol sosial pada setiap kebijakan mulai dari pemerintahan desa hingga ke tingkat pusat/nasional.
  4. Membuka wawasan seluas-luasnya pemahaman tentang penyelenggaraan pemerintahan negara dan aspek-aspek hukumnya.
  5. Mampu memposisikan diri sebagai subjek pembangunan dan berperan aktif dalam setiap pengambilan keputusan untuk kepentingan masyarakat luas.

Upaya Edukasi LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) :
  • Indonesia Corruption Watch (ICW) adalah organisasi non-pemerintah yang meng- awasi dan melaporkan kepada public mengenai korupsi di Indonesia dan terdiri dari sekumpulan orang yang memiliki komitmen untuk memberantas korupsi melalui usaha pemberdayaan rakyat untuk terlibat melawan praktik korupsi. ICW lahir di Jakarta pada tgl 21 Juni 1998 di tengah-tengah gerakan reformasi yang menghendaki pemerintahan pasca Soeharto yg bebas korupsi.
  • Transparency International (TI) adalah organisasi internasional yang bertujuan memerangi korupsi politik dan didirikandi Jerman sebagai organisasi nirlaba sekarang menjadi organisasi non-pemerintah yang bergerak menuju organisasi yang demokratik.

Publikasi tahunan oleh TI yang terkenal adalah Laporan Korupsi Global. Survei TI Indonesia yang membentuk Indeks Persepsi Korupsi (IPK) In-donesia 2004 menyatakan bahwa Jakarta sebagai kota terkorup di Indonesia, disu-sul Surabaya, Medan, Semarang dan Batam. Sedangkan survei TI pada 2005, In-donesia berada di posisi keenam negara terkorup di dunia. IPK Indonesia adalah 2,2 sejajar dengan Azerbaijan, Kamerun, Etiopia, Irak, Libya dan Usbekistan, ser-ta hanya lebih baik dari Kongo, Kenya, Pakistan, Paraguay, Somalia, Sudan, Angola, Nigeria, Haiti & Myanmar. Sedangkan Islandia adalah negara terbebas dari korupsi.

PENUTUP

Kesimpulan

Dari teori yang telah kami sajikan, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut, Korupsi adalah penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaaan) dan sebagainya untuk keuntungan pribadi atau orang lain serta selalu mengandung unsur “penyelewengan” atau dishonest (ketidakjujuran).

Korupsi di Indonsia dimulai sejak era Orde Lama sekitar tahun 1960-an bahkan sangat mungkin pada tahun-tahun sebelumnya. Korupsi di Indonesia semakin banyak sejak akhir 1997 saat negara mengalami krisis politik, sosial, kepemimpinan dan kepercayaan yang pada akhirnya menjadi krisis multidimensi. Rakyat kecil umumnya bersikap apatis dan acuh tak acuh. Kelompok mahasiswa sering menanggapi permasalahan korupsi dengan emosi dan demonstrasi.

Fenomena umum yang biasanya terjadi di Indonesia ialah selalu muncul kelompok sosial baru yang ingin berpolitik, namun sebenarnya banyak di antara mereka yang tidak mampu. Mereka hanya ingin memuaskan ambisi dan kepentingan pribadinya dengan dalih “kepentingan rakyat”. Peran serta pemerintah dalam pemberantasan korupsi ditunjukkan dengan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan aparat hukum lain. KPK yang ditetapkan melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi untuk mengatasi, menanggulangi dan memberantas korupsi. Ada beberapa upaya yang dapat ditempuh dalam memberantas tindak korupsi di Indonesia, antara lain :upaya pencegahan (preventif), upaya penindakan (kuratif), upaya edukasi masyarakat/mahasiswa dan upaya edukasi LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat). Perlu dikaji lebih dalam lagi tentang teori upaya pemberantasan korupsi di Indonesia agar mendapat informasi yang lebih akurat. Diharapkan para pembaca setelah membaca makalah ini mampu mengaplikasi-kannya di dalam kehidupan sehari-hari.

DAFTAR PUSTAKA

Gie. 2002. Pemberantasan Korupsi Untuk Meraih Kemandirian, Kemakmuran, Kesejahteraan dan Keadilan.

Mochtar. 2009. “Efek Treadmill” Pemberantasan Korupsi : Kompas UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Strategi pencegahan & penegakan hukum Tindak Pidana Korupsi
Read more ...

Tugas 3 : Jurnal

26 Des 2014

IKLAN DALAM ETIKA DAN ESTETIKA
Astried Herera
Fakultas Ekonomi Universitas Gunadarma

Abstrak
Iklan pada hakikatnya merupakan salah satu strategi pemasaran yang dimaksudkan untuk mendekatkan barang yang hendak dijual kepada konsumen, dengan kata lain mendekatkan konsumen dengan produsen. Sasaran akhir seluruh kegiatan bisnis adalah agar barang yang telah dihasilkan bisa dijual kepada konsumen. Secara positif iklan adalah suatu metode yang digunakan untuk memungkinkan barang dapat dijual kepada konsumen. Dalam periklanan kita tidak dapat lepas dari etika. Dimana di dalam iklan itu sendiri mencakup pokok-pokok bahasan yang menyangkut reaksi kritis masyarakat Indonesia tentang iklan yang dapat dipandang sebagai kasus etika periklanan. Sebuah perusahaan harus memperhatikan etika dan estetika dalam sebuah iklan dan terus memperhatikan hak-hak konsumen.

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam dunia bisnis, iklan merupakan satu kekuatan yang dapat digunakan untuk menarik konsumen sebanyak-banyaknya. Penekanan utama iklan adalah akses informasi dan promosi dari pihak produsen kepada konsumen. Sebagai media, baik yang berupa visual atau oral, iklan jenis punya tendensi untuk mempengaruhi khalayak umum untuk mencapai target keuntungan.

Iklan pada hakikatnya merupakan salah satu strategi pemasaran yang dimaksudkan untuk mendekatkan barang yang hendak dijual kepada konsumen, dengan kata lain mendekatkan konsumen dengan produsen. Sasaran akhir seluruh kegiatan bisnis adalah agar barang yang telah dihasilkan bisa dijual kepada konsumen. Secara positif iklan adalah suatu metode yang digunakan untuk memungkinkan barang dapat dijual kepada konsumen.

Hampir setiap hari kita dibanjiri oleh iklan yang disajikan media-media massa, baik cetak maupun elektronik. Akibatnya seakan-akan upaya pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari untuk sebagian besarnya dikondisikan oleh iklan. Memang, inilah sebenarnya peran yang diemban oleh iklan, yakni sebagai kekuatan ekonomi dan sosial yang menginformasikan konsumen perihal produk-produk barang dan jasa yang bisa dijadikan sebagai pemuas kebutuhan. Masalah moral dalam iklan muncul ketika iklan kehilangan nila-nilai normatifnya dan menjadi semata-mata bersifat propaganda barang dan jasa demi profit yang semakin tingi dari para produsen barang dan jasa maupun penyedia jasa iklan.

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah pada penulisan ini adalah bagaimana seharusnya produsen mempromosikan suatu produk barang atau jasa kepada konsumen dilihat dari sisi kepentingan perusahaan dan hak-hak konsumen.

BAB II LANDASAN TEORI

2.1 Pengertian Etika

Istilah Etika berasal dari bahasa Yunani kuno. Bentuk tunggal kata 'etika' yaitu ethos sedangkan bentuk jamaknya yaitu ta etha . Ethos mempunyai banyak arti yaitu : tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan/adat, akhlak,watak, perasaan, sikap, cara berpikir. Sedangkan arti ta etha yaitu adapt kebiasaan. Arti dari bentuk jamak inilah yang melatar-belakangi terbentuknya istilah Etika yang oleh Aristoteles dipakai untuk menunjukkan filsafat moral. Jadi, secara etimologis (asal usul kata), etika mempunyai arti yaitu ilmu tentang apa yang biasa dilakukanatau ilmu tentang adapt kebiasaan (K.Bertens, 2000).

K. Bertens berpendapat bahwa arti kata ‘etika’ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tersebut dapat lebih dipertajam dan susunan atau urutannya lebih baik dibalik, karena arti kata ke-3 lebih mendasar daripada arti kata ke-1. Sehingga arti dan susunannya menjadi seperti berikut :

  1. nilai dan norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Misalnya, jika orang berbicara tentang etika orang Jawa, etika agama Budha, etika Protestan dan sebagainya, maka yang dimaksudkan etika di sini bukan etika sebagai ilmu melainkan etika sebagai sistem nilai. Sistem nilai ini bisaberfungsi dalam hidup manusia perorangan maupun pada taraf sosial.
  2. kumpulan asas atau nilai moral . Yang dimaksud di sini adalah kode etik. Contoh : Kode Etik Jurnalistik
  3. ilmu tentang yang baik atau buruk .
  4.  
2.2 Pengertian Iklan

Menurut Thomas M. Garret, SJ, iklan dipahami sebagai aktivitas-aktivitas yang lewatnya pesan-pesan visual atau oral disampaikan kepada khalayak dengan maksud menginformasikan atau memengaruhi mereka untuk membeli barang dan jasa yang diproduksi, atau untuk melakukan tindakan-tindakan ekonomi secara positif terhadap idea-idea, institusi-institusi tau pribadi-pribadi yang terlibat di dalam iklan tersebut. Untuk membuat konsumen tertarik, iklan harus dibuat menarik bahkan kadang dramatis. Tapi iklan tidak diterima oleh target tertentu (langsung).

Iklan dikomunikasikan kepada khalayak luas (melalui media massa komunikasi iklan akan diterima oleh semua orang: semua usia, golongan, suku, dsb). Sehingga iklan harus memiliki etika, baik moral maupun bisnis.

Keuntungan dari adanya iklan yaitu :
  • Adanya informasi kepada konsumer akan keberadaan suatu produk dan “kemampuan” produk tersebut. Dengan demikian konsumen mempunyai hak untuk memilih produk yang terbaik sesuai dengan kebutuhannya.
  • Adanya kompetisi sehingga dapat menekan harga jual produk kepada konsumen. Tanpa adanya iklan, berarti produk akan dijual dengan cara eksklusif (kompetisisi sangat minimal) dan produsen bisa sangat berkuasa dalam menentukan harga jualnya.
  • Memberikan subsidi kepada media-massa sehingga masyarakat bisa menikmati media-massa dengan biaya rendah. Hampir seluruh media-massa “hidup” dari iklan (bukan dari penghasilannya atas distribusi media tersebut). Munculnya media-media gratis memperkuat fakta bahwa mereka bisa mencetak dan mendistribusikan media tersebut karena adanya penghasilan dari iklan.

2.3 Pengertian Konsumen dan Hak Konsumen

Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.

Hak – hak konsumen antara lain :
  1. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa.
  2. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.
  3. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.
  4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan.
  5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.
  6. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen.
  7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.
  8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
  9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

BAB III METODE PENULISAN

Pada penulisan ini, informasi yang didapatkan oleh penulis bersumber dari internet yang berkaitan dengan etika bisnis agar rumusan dan tujuan penulisan ini dapat terjawab. Data dalam penulisan ini mengunakan data sekunder. Dimana pengertian Data Sekunder adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan peneliti dari berbagai sumber yang telah ada (peneliti sebagai tangan kedua). Data sekunder dapat diperoleh dari berbagai sumber seperti Biro Pusat Statistik (BPS), buku, laporan, jurnal, dan lain-lain.

BAB IV PEMBAHASAN

4.1 Fungsi Iklan Sebagai Pemberi Informasi dan Pembentuk Opini

Fungsi Periklanan
Iklan dilukiskan sebagai komuniskasi antara produsen dan pasar, antara penjual dan calon pembeli. Dalam proses komunikasi iklan menyampaikan sebuah “pesan”. Dengan demikian kita mendapat kesan bahwa periklanan terutama bermaksud memberi informasi. Tujuan terpenting adalah memperiklankan produk/jasa.

Fungsi iklan dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu berfungsi memberi informasi dan
membentuk opini (pendapat umum).

  • Iklan berfungsi sebagai pemberi informasi. Pada fungsi ini, iklan merupakan media untuk menyampaikan informasi yang sebenarnya kepada masyarakat tentang produk yang akan atau sedang ditawarkan di pasar. Pada fungsi ini, iklan memberikan dan menggambarkan seluruh kenyataan serinci mungkin tentang suatu produk. Tujuannya agar calon konsumen dapat mengetahui dengan baik produk itu, sehingga akhirnya memutuskan untuk membeli produk tersebut.
  • Iklan berfungsi sebagai pembentuk opini (pendapat umum). Pada fungsi ini, iklan mirip dengan fungsi propaganda politik yang berupaya mempengaruhi massa pemilih. Dengan kata lain, iklan berfungsi menarik dan mempengaruhi calon konsumen untuk membeli produk yang diiklankan. Caranya dengan menampilkan model iklan yang persuasif, manipulatif, tendensus dengan maksud menggiring konsumen untuk membeli produk. Secara etis, iklan manipulatif jelas dilarang, karena memanipulasi manusia dan merugikan pihak lain.

4.2. Beberapa Persoalan Etis Periklanan

- Merongrong ekonomi dan kebebasan manusia.
- Menciptakan kebutuhan manusia dengan akibat manusia modern menjadi konsumtif.
- Membentuk dan menentukan identitas dan citra manusia modern.
- Merongrong rasa keadilan sosial masyarakat.


Dari persoalan diatas, beberapa prinsip yang kiranya perlu diperhatikan dalam iklan, sebagai berikut :

a. Iklan tidak boleh menyampaikan informasi yang palsu dengan maksud memperdaya konsumen.

b. Iklan wajib menyampaikan semua informasi tentang produk tertentu, khususnya menyangkut keamanan dan keselamatan manusia.

c. Iklan tidak boleh mengarah pada pemaksaan khususnya secara kasar dan terang-terangan.

d. Iklan tidak boleh mengarah pada tindakan yang bertentangan dengan moralitas.

4.3 Makna Etika dan Estetika Dalam Iklan

Fungsi iklan pada akhirnya membentuk citra sebuah produk dan perusahaan di mata masyarakat. Citra ini terbentuk oleh kesesuaian antara kenyataan sebuah produk yang diiklankan dengan informasi yang disampaikan dalam iklan. Prinsip etika bisnis yang paling relevan dalam hal ini adalah nilai kejujuran. Dengan demikian, iklan yang membuat pernyataan salah atau tidak benar dengan maksud memperdaya konsumen adalah sebuah tipuan.

Ciri-ciri iklan yang baik :
  • Etis: berkaitan dengan kepantasan.
  • Estetis: berkaitan dengan kelayakan (target market, target audiennya, kapan harus ditayangkan).
  • Artistik: bernilai seni sehingga mengundang daya tarik khalayak.


Contoh Penerapan Etika dalam Periklanan :
  • Iklan rokok: Tidak menampakkan secara eksplisit orang merokok.
  • Iklan pembalut wanita: Tidak memperlihatkan secara realistis dengan memperlihatkan daerah kepribadian wanita tersebut.
  • Iklan sabun mandi: Tidak dengan memperlihatkan orang mandi secara utuh.

Etika secara umum :
  • Jujur : tidak memuat konten yang tidak sesuai dengan kondisi produk
  • Tidak memicu konflik SARA
  • Tidak mengandung pornografi
  • Tidak bertentangan dengan norma-norma yang berlaku.
  • Tidak melanggar etika bisnis, contoh: saling menjatuhkan produk tertentu dan sebagainya.
  • Tidak plagiat.

4.4 Kebebasan Konsumen

Iklan merupakan suatu aspek pemasaran yang penting, sebab iklan menentukan hubungan antara produsen dengan konsumen. Secara konkrit, iklan menentukan pula hubungan penawaran dan permintaan antara produsen dan pembeli, yang pada gilirannya ikut pula menentukan harga barang yang dijual dalam pasar. Kode etik periklanan tentu saja sangat diharapkan untuk membatasi pengaruh iklan ini.

Akan tetapi, perumusan kode etik ini harus melibatkan berbagai pihak, yang antara lain: ahli etika, konsumen (lembaga konsumen), ahli hukum, pengusaha, pemerintah, tokoh agama, dan tokoh masyarakat tertentu, tanpa harus merampas kemandirian profesi periklanan. Yang juga penting adalah bahwa profesi periklanan dan organisasi profesi periklanan perlu benar- benar mempunyai komitmen moral untuk mewujudkan iklan yang baik bagi masyarakat.

Namun, jika ini tidak memadai, kita membutuhkan perangkat legal politis dalam bentuk aturan perundang-undangan tentang periklanan beserta sikap tegas tanpa kompromi dari pemerintah melalui departemen terkait untuk menegakkan dan menjamin iklan yang baik bagi masyarakat.

4.5 Prinsip Moral yang Perlu dalam Iklan

  • Prinsip Kejujuran
Prinsip ini berhubungan dengan kenyataan bahwa bahasa penyimbol iklan seringkali dilebih-lebihkan, sehingga bukannya menyajikan informasi mengenai persediaan barang dan jasa yang dibutuhkan oleh konsumen, tetapi mempengaruhi bahkan menciptakan kebutuhan baru. Maka yang ditekankan di sini adalah bahwa isi iklan yang dikomunikasikan haruslah sungguh-sungguh menyatakan realitas sebenarnya dari produksi barang dan jasa. Sementara yang dihindari di sini, sebagai konsekuensi logis, adalah upaya manipulasi dengan motif apa pun juga.
  • Prinsip Martabat Manusia sebagai Pribadi
Bahwa iklan semestinya menghormati martabat manusia sebagai pribadi semakin ditegaskan dewasa ini sebagai semacam tuntutn imperatif ( imperative requirement). Iklan semestinya menghormati hak dan tanggung jawab setiap orang dalam memilih secara bertanggung jawab barang dan jasa yang ia butuhkan. Ini berhubungan dengan dimensi kebebasan yang justeru menjadi salah satu sifat hakiki dari martabat manusia sebagai pribadi. Maka berhadapan dengan iklan yang dikemas secanggih apa pun, setiap orang seharusnya bisa dengan bebas dan bertanggung jawab memilih untuk memenuhi kebutuhannya atau tidak. Yang banyak kali terjadi adalah manusia seakan-akan dideterminir untuk memilih barang dan jasa yang diiklankan, hal yang membuat manusia jatuh ke dalam sebuah keniscayaan pilihan. Keadaan ini bisa terjadi karena kebanyakan iklan dewasa ini dikemas sebegitu rupa sehingga menyaksikan, mendengar atau membacanya segera membangkitkan “nafsu” untuk memiliki barang dan jasa yang ditawarkan (lust), kebanggaan bahwa memiliki barang dan jasa tertentu menentukan status sosial dalam masyarkat, dll.
  • Iklan dan Tanggung Jawab Sosial
Meskipun sudah dikritik di atas, bahwa iklan harus menciptakan kebutuhan-kebutuhan baru karena perananya yang utama selaku media informasi mengenai kelangkaan barang dan jasa yang dibutuhkan manusia, namun dalam kenyataannya sulit dihindari bahwa iklan meningkatkan konsumsi masyarakat. Artinya bahwa karena iklan manusia “menumpuk” barang dan jasa pemuas kebutuhan yang sebenarnya bukan merupakan kebutuhan primer. Penumpukan barang dan jasa pada orang atau golongan masyarkat tertentu ini disebut sebagai surplus barang dan jasa pemuas kebutuhan. Menyedihkan bahwa surplus ini hanya dialami oleh sebagai kecil masyarakat. Bahwa sebagian kecil masyarakat ini, meskipun sudah hidup dalam kelimpahan, toh terus memperluas batasa kebutuhan dasarnya, sementara mayoritas masyarakat hidup dalam kemiskinan.

Di sinilah kemudian dikembangkan ide solidaritas sebagai salah satu bentuk tanggung jawab sosial dari iklan. Berhadapan dengan surplus barang dan jasa pemuas kebutuhan manusia, dua hal berikut pantas dipraktekkan.

Pertama , surplus barang dan jasa seharusnya disumbangkan sebagai derma kepada orang miskin atau lembaga/institusi sosial yang berkarya untuk kebaikan masyarakat pada umumnya (gereja, mesjid, rumah sakit, sekolah, panti asuhan, dll). Tindakan karitatif semacam ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa kehidupan kultural masyarakat akan semakin berkembang.

Kedua , menghidupi secara seimbang pemenuhan kebutuhan fisik, biologis, psikologis, dan spiritual dengan perhatian akan kebutuhan masyarakat pada umumnya. Perhatian terhadap hal terakhir ini bisa diwujudnyatakan lewat kesadaran membayar pajak ataupun dalam bentuk investasi-investasi, yang tujuan utamanya adalah kesejahteraan sebagian besar masyarakat.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dalam periklanan kita tidak dapat lepas dari etika. Dimana di dalam iklan itu sendiri mencakup pokok-pokok bahasan yang menyangkut reaksi kritis masyarakat Indonesia tentang iklan yang dapat dipandang sebagai kasus etika periklanan. Sebuah perusahaan harus memperhatikan etika dan estetika dalam sebuah iklan dan terus memperhatikan hak-hak konsumen.

5.2 Saran

Dalam penulisan ini penulis memberikan saran yaitu dalam bisnis periklanan perlulah adanya kontrol tepat yang dapat mengimbangi kerawanan tersebut sehingga tidak merugikan konsumen. Sebuah perusahaan harus memperhatikan kepentingan dan hak -hak konsumen, dan tidak hanya memikirkan keuntungan semata.


DAFTAR PUSTAKA

Afandi, Rizki. IKLAN DALAM ETIKA DAN ESTETIKA. Penulisan. Jurusan Manajemen, Fakultas Ekonomi, Universitas Gunadarma, 2013.

Read more ...

Tugas 2 : Jurnal

10 Nov 2014
Keadilan Bisnis Pada Konsumen Dalam Menggunakan Fasilitas SMS 
Astried Herera
Fakultas Ekonomi Universitas Gunadarma

Abstrak
Dalam kaitan dengan keterlibatan sosial, tanggung jawab sosial perusahaan berkaitan langsung dengan penciptaan atau perbaikan kondisi sosial ekonomi yang semakin sejahtera dan merata. Penetapan harga yang dilakukan oleh PT. Excelcomindo Pratama,Tbk., PT Telekomunikasi Selular, Tbk., PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk., PT. Bakrie Telecom, Tbk., PT. Mobile-8 Telecom, Tbk., PT. Smart Telecom, Tbk., telah merugikan masyarakat sebagai konsumen dengan jumlah kerugian mencapai Rp 2.827.700.000.000 (Putusan Perkara Nomor: 26/KPPU-L/2007). Ke-6 operator seluler berdasarkan Putusan KPPU telah mendapatkan sanksi denda sejumlah RP. 52 milyar rupiah kepada Negara karena telah terbukti melakukan kartel dalam bentuk perjanjian penetapan harga, tetapi terkait perlindungan konsumen, sampai saat ini, hak konsumen untuk mendapatkan ganti kerugiaan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 19 ayat (1),(2),(3) UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan konsumen belum dipenuhi oleh pelaku usaha.

Kata Kunci : Keadilan dalam Bisnis, Keadilan Konsumen

1. Pendahuluan
Pesatnya perkembangan teknologi dan informasi telah menghasilkan variasi produk barang atau jasa. Perkembangan tekonologi dan informasi memberikan dampak positif dalam dunia pertelekomunikasian di Indonesia. Sebelum berkembangnya telepon seluler, di Indonesia telah berkembang telepon rumah, dan pager sebagai alat komunikasi yang tidak mengenal jarak dan waktu. Tetapi masa itu tidak semua orang dapat menikmati fasilitas komunikasi tersebut, kemudian latah ini di ikuti oleh perkembangan telepon seluler komersial yang bangkit kembali di awal tahun 90 an.
Tuntutan zaman yang semakin canggih, menyebabkan terjadinya perubahan paradigma dalam masyarakat. Telpon seluler yang semula hanya berfungsi sebagai gaya hidup kini berubah menjadi kebutuhan pokok. Salah satu fasilitas pokok yang melekat pada ponsel adalah short message service (sms). Tingginya permintaan masyarakat terhadap kebutuhan telekomunikasi murah menyebabkan pelaku usaha berlomba-lomba untuk memperoleh keuntungan dengan memanfaatkan animo masyarakat menggunakan layanan sms.
Dalam masyarakat acap kali ada anggapan bahwa bisnis tidak mempunyai hubungan dengan etika atau moralitas, Richard De Groge menyebut pandangan ini sebagai “the myth of amoral bussines” (K. Bartens, 2003;376). Berdasarkan pandangan yang keliru ini, pelaku usaha akan menghalalkan berbagai cara untuk memperoleh keuntungan. Salah satu bentuk perilaku bisnis yang hanya mementingkan profit tanpa memperdulikan hak-hak masyarakat sebagai konsumen adalah kasus penetapan harga (price fixing) sms yang dilakukan oleh 6 Operator telepon seluluer di Indonesia.
Penetapan harga yang dilakukan oleh PT. Excelcomindo Pratama,Tbk., PT Telekomunikasi Selular, Tbk., PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk., PT. Bakrie Telecom, Tbk., PT. Mobile-8 Telecom, Tbk., PT. Smart Telecom, Tbk., telah merugikan masyarakat sebagai konsumen dengan jumlah kerugian mencapai Rp 2.827.700.000.000 (Putusan Perkara Nomor: 26/KPPU-L/2007). Ke-6 operator seluler berdasarkan Putusan KPPU telah mendapatkan sanksi denda sejumlah RP. 52 milyar rupiah kepada Negara karena telah terbukti melakukan kartel dalam bentuk perjanjian penetapan harga, tetapi terkait perlindungan konsumen, sampai saat ini, hak konsumen untuk mendapatkan ganti kerugiaan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 19 ayat (1),(2),(3) UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan konsumen belum dipenuhi oleh pelaku usaha.

  1. Landasan Teori
2.1  Keadilan Konsumen
Dalam kaitan dengan keterlibatan sosial, tanggung jawab sosial perusahaan berkaitan langsung dengan penciptaan atau perbaikan kondisi sosial ekonomi yang semakin sejahtera dan merata. Tidak hanya dalam pengertian bahwa terwujudnya keadilan akan menciptakan stabilitas sosial yang akan menunjang kegiatan bisnis, melainkan juga dalam pengertian bahwa sejauh prinsip keadilan dijalankan akan lahir wajah bisnis yang lebih baik dan etis. Tidak mengherankan bahwa hingga sekarang keadilan selalu menjadi salah satu topic penting dalam etika bisnis.

2.2  Azas dan Tujuan Perlindungan Konsumen
·        Asas Manfaat
Mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.

·        Asas Keadilan
Partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.

·        Asas Keseimbangan
Memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual.



·        Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen
Memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalarn penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan;

·        Asas Kepastian Hukum
Baik pelaku usaha maupun konsumen mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.

Menurut Undang-undang no. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen :
Pasal 1 butir 1,2,dan 3 :
Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen
 Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersamasama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.

  1. Metodologi
3.1  Objek Penelitian
Penulis melakukan penelitian terhadap 6 0perator Seluler di Indonesia, yaitu PT. Excelcomindo Pratama,Tbk., PT Telekomunikasi Selular, Tbk., PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk., PT. Bakrie Telecom, Tbk., PT. Mobile-8 Telecom, Tbk., PT. Smart Telecom, Tbk.

3.2  Metode Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, penulis mengumpulkan data dengan cara teknik pengumpulan data, yaitu:
1.      Metode Kepustakaan (Library Research)
Penelitian ini menggunakan studi kepustakaan yang diambil dari buku literature yang akan dijadikan landasan teori dalam penelitian ini.
2.      Internet
Pengumpulan data melalui internet dan jurnal-jurnal yang berhubungan dengan masalah atau latar belakang masalah yang diteliti.

4.      Pembahasan
4.1  Price Fixing
Salah satu fitur layanan yang paling populer bagi konsumen pengguna telpon seluler adalah short message service (sms). Tujuan awal dari fitur sms adalah memberikan kemudahan layanan bagi konsumen untuk berkomunikasi dengan biaya yang relatif lebih murah dibandingkan dengan layanan panggilan. Pada tahun 2007, masyarakat sebagai konsumen pengguna jasa sms, dikejutkan dengan temuan KPPU yang menduga adanya kecurangan yang dilakukan oleh beberapa operator seluler di Indonesia.
Dalam proses pemeriksaan, terungkap bahwa ternyata ada kesepakatan tertulis yang ditandatangani oleh beberapa operator seluler  mengenai penetapan tarif sms  (price fixing). Dalam dunia usaha memang banyak ditemukan perjanjian-perjanjian dan kegiatan-kegiatan usaha yang mengandung unsur-unsur ketidakadilan terhadap pihak yang ekonomi atau sosialnya lebih lemah dengan dalih pemeliharaan persaingan usaha yang sehat.
Tidak dapat dipungkuri bahwa dibalik praktik bisnis, ada berbagai macam persaingan misalnya : ada persaingan usaha yang sehat dan adil (fair competition), ada persaingan yang tidak sehat (unfair competition), ada persaingan yang desdruktif (desdructive competition), seperti predatory price. Perilaku anti persaingan seperti persaingan usaha yang tidak sehat dan persaingan desdruktif akan mengakibatkan in-efisiensi perekonomian berupa hilangnya kesejahteraan (economic walfare), bahkan mengakibatkan keadilan ekonomi dalam masyarakat pun terganggu dan timbulnya akibat-akibat ekonomi dan sosial yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum, maupun kepentingan umum.
Salah satu bentuk persaingan usaha tidak sehat yang dapat dilakukan oleh pelaku usaha untuk memperoleh keuntungan  yang sebesar-besarnya adalah dengan melakukan kartel. Dalam Black’s Law Dictionary, kartel diterjemahkan sebagai suatu kerjasama dari produsen-produsen produk tertentu yang bertujuan untuk mengawasi produksi, penjualan dan harga, dan untuk melakukan monopoli terhadap komunitas atau industri tertentu (Fuady,1999:63). Sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal 11 UU No. 5 tahun 1999, tujuan dari kartel adalah untuk mempengaruhi harga yang dilakukan dengan jalan mengatur produksi dan/atau pemasaran barang dan/ atau jasa tertentu. Salah satu bentuk kartel yang paling nyata dalam kasus ini adalah perjanjian penetapan harga (price fixing).
Dalam Black’s Law Dictionary, penetapan harga (price fixing) diartikan sebagai “a combination formed for the purpose of and with the effect of raising, depressing, fixing, pegging, or stabilizing, the price of a commodity”, sedangkan dalam Kamus Lengkap yang disusun oleh Cristopher Pass dan Bryan Lowes, penetapan harga diartikan sebagai penentuan harga (price) umum untuk suatu barang atau jasa oleh suatu kelompok pemasok yang bertindak secara bersama-sama, sebagai kebalikan atas pemasok yang menetapkan harganya sendiri secara bebas.
Larangan terhadap perjanjian penetapan harga (price fixing) diatur dalam Pasal 5  ayat (1) dan (2) UU No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Dalam ketentuan tersebut diatur bahwa pelaku usaha dilarang untuk mengadakan perjanjian dengan pesaingnya untuk menetapkan harga barang atau jasa yang harus dibayarkan oleh konsumen.
Dampak dari adanya kartel sms adalah kerugian konsumen secara materiil maupun immateriel. Saat ini, peraturan perudang-undangan yang menjadi dasar hukum perlindungan konsumen adalah UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Sebelum disahkanya UU No. 8 Tahun 1999, perlindungan konsumen tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Dalam Ketentuan Umum UU No. 8 Tahun 1999, dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan “konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”.
4.2  Analisis Permasalahan
Dengan dalih ingin menjaga kestabilan jaringan dan meningkatkan efisiensi dan efektifitas sistem jaringan telekomunikasi, PT Excelcomindo Pratama,Tbk., PT Telekomunikasi Selular, Tbk., PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk., PT. Bakrie Telecom, Tbk., PT. Mobile-8 Telecom, Tbk., PT. Smart Telecom, Tbk., membuat Perjanjian Kerjasama (PKS) Interkoneksi. PKS Interkoneksi yang dibuat oleh ke-6 Operator seluler tersebut memuat klausula penetapan harga sms off-net minimum, yaitu sebesar Rp.250/sms dengan range Rp.250-350/sms, padahal berdasarkan hasil perhitungan yang dilakukan oleh KPPU, tarif sms kompetitif hanya RP.114/sms.
Berdasarkan perhitungan KPPU dengan perkiraan harga kompetitif dari sms off-net sebesar RP.114/sms, maka  dengan menghitung selisih pendapatan berdasarkan perjanjian penetapan harga dengan harga kompetitif sms off-net dari ke-6 Operator secara materiil perjanjian penetapan harga tersebut telah merugikan masyarakat sebagai konsumen dengan jumlah kerugian mencapai Rp 2.827.700.000.000 (dua triliun delapan ratus dua puluh tujuh milyar tujuh ratus juta rupiah). Dari sudut pandang hukum, penetapan harga yang dilakukan oleh ke-6 Operator seluler tersebut tidak dapat dibenarkan karena tindakan tersebut merupakan perbuatan melawan hukum. Tindakan ke-6 Operator seluler tersebut telah melanggar ketentuan Pasal 5 UU No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Akibat perjanjian penetapan harga yang dilakukan oleh ke-6  Operator seluler tersebut, konsumen mengalami kerugian berupa hilangnya kesempatan untuk memperoleh harga sms yang lebih rendah, konsumen kehilangan kesempatan untuk memperoleh sms yang lebih banyak dengan harga yang sama, serta terbatasnya aternatif pilihan bagi konsumen pada periode 2004 sampai dengan April 2008. Beberapa hak konsumen yang telah dilanggar oleh operator sebagai pelaku usaha sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 4 UU No. 8 Tahun 1999 adalah:

1.  hak konsumen untuk memilih barang/jasa sesuai dengan nilai tukarnya

2.  hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur

3.  hak untuk diperlakukan dan dilayani secara benar dan jujur

4.  hak untuk mendapat konspensasi, ganti rugi dan atau penggantian apabila barang dan jasa yang diterima tidak sebagaimana mestinya

5. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengeketa perlidungan kosumen secara patut

Apabila dilihat dari segi pemenuhan kewajiban, operator seluler sebagai pelaku usaha tidak mengindahkan kewajibannya, dalam hal beritikat baik dalam melakukan kegiatan usaha, memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi layanan, memperlakukan kosumen secara benar dan jujur, memberikan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugiaan akibat penggunaan dan pemanfaatan barang atau jasa yang diperdagangkan.
Antara konsep dan realita sering kali tidak seiring sejalan. UU No. 8 Tahun 1999 yang diharapkan dapat menjadi senjata bagi pencari keadilan, dalam implementasinya ternyata harus menghadapi berbagai kendala. Terkait dengan pertanggungjawaban, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 19 UU No. 8 Tahun 1999, dalam memenuhi rasa keadilan seharusnya pelaku usaha bertanggungjawab secara langsung kepada konsumen dengan memberikan ganti rugi tanpa perlu melalui proses dan prosedur yang panjang. Pada kenyataannya konsumen yang secara nyata telah dirugikan harus tetap melalui proses dan prosedur yang panjang untuk memperoleh ganti kerugiaan. Proses dan prosedur yang sulit menyebabkan konsumen bersikap pasif, tidak perduli dan masa bodo menanggapi kerugian yang telah mereka alami selama bertahun-tahun.


Keadilan dalam konsep pemenuhan hak konsumen untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengeketa perlidungan kosumen secara patut pun belum dilakukan oleh pemerintah. Seharusnya, untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat, pemerintah bekerjasama dengan BPSK atau LPKSM mengupayakan semaksimal mungkin pemenuhan hak konsumen untuk memperoleh ganti kerugian. Dalam konteks keadilan seharusnya pelaku usaha dengan penuh kesadaran memenuhi semua kewajiban untuk memberikan ganti kerugian kepada konsumen yang dirugikan sebagaimana diamanatkan dalam ketentuan Pasal 7 UU no. 8 Tahun 1999.

Dengan adanya asas kepastian hukum dalam ketentuan UU No. 8 Tahun 1999,  terkait kasus ini konsumen menggalami kesulitan untuk memperoleh hak-haknya. Sejak mengemukanya kasus kartel sms, sampai dengan saat ini konsumen belum memperoleh kompensasi ganti kerugian dalam bentuk apapun dari ke-6 operator. Untuk memperoleh ganti kerugian, konsumen harus melakukan upaya hukum yang membutuhkan proses dan prosedur panjang serta membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Pada tataran implementasinya, upaya hukum yang harus dilakukan oleh konsumen tidak semudah yang dibayangkan. Ketentuan hukum UU No. 8 Tahun 1999 tidak sesuai dengan harapan yaitu menyelesaikan sengketa konsumen dengan cepat, sederhana dan biaya murah.







Dalam kasus kartel yang dilakukan oleh ke-6 operator seluler tersebut,  KPPU hanya dapat memberikan sanksi terkait kasus penetapan harga, sehingga KPPU tidak berhak untuk memutus sanksi ganti kerugiaan bagi konsumen. Oleh karena itu, untuk memperoleh ganti kerugiaan, konsumen sebagai pihak yang dirugikan harus terlebih dahulu menempuh jalur hukum sebagaimana yang telah diatur dalam ketentuan UU No. 8 Tahun 1999.
Untuk menuntut ganti kerugiaan seharusnya konsumen mengajukan gugatan kepada pelaku usaha secara class action agar diperoleh Putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Dengan memiliki Putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, maka hak-hak dan ganti kerugian bagi konsumen dapat dipaksakan pelaksanaannya kepada ke-6 operator seluler tersebut.

  1. Penutup
5.1  Kesimpulan
Terkait kasus kartel sms yang dilakukan oleh 6 operator seluler di Indonesia yang telah merugikan konsumen sebesar Rp 2.827.700.000.000 (dua triliun delapan ratus dua puluh tujuh milyar tujuh ratus juta rupiah), hukum perlindungan konsumen di Indonesia belum dapat memberikan keadilan bagi konsumen yang dirugikan. Untuk memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat seharusnya konsumen tidak perlu menempuh proses dan prosedur yang sulit untuk memperoleh kompensasi ganti kerugian. Mengacu pada Putusan KPPU, konsumen secara nyata telah dirugikan oleh ke-6 operator seluler tersebut. Untuk memberikan perlindungan terhadap kosumen, seharusnya asas-asas dalam undang-undang dilaksanakan secara berimbang agar UU No. 8 Tahun 1999 dapat memberikan perlindungan konsumen dengan sederhana, cepat, dan biaya murah.

Daftar Pustaka
Anonimos, Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.



Read more ...