Keadilan
Bisnis Pada Konsumen Dalam Menggunakan Fasilitas SMS
Astried
Herera
Fakultas
Ekonomi Universitas Gunadarma
Abstrak
Dalam kaitan
dengan keterlibatan sosial, tanggung jawab sosial perusahaan berkaitan langsung
dengan penciptaan atau perbaikan kondisi sosial ekonomi yang semakin sejahtera
dan merata. Penetapan harga yang dilakukan oleh PT. Excelcomindo Pratama,Tbk.,
PT Telekomunikasi Selular, Tbk., PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk., PT. Bakrie
Telecom, Tbk., PT. Mobile-8 Telecom, Tbk., PT. Smart Telecom, Tbk., telah
merugikan masyarakat sebagai konsumen dengan jumlah kerugian mencapai Rp
2.827.700.000.000 (Putusan Perkara Nomor: 26/KPPU-L/2007). Ke-6 operator
seluler berdasarkan Putusan KPPU telah mendapatkan sanksi denda sejumlah RP. 52
milyar rupiah kepada Negara karena telah terbukti melakukan kartel dalam bentuk
perjanjian penetapan harga, tetapi terkait perlindungan konsumen, sampai saat
ini, hak konsumen untuk mendapatkan ganti kerugiaan sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Pasal 19 ayat (1),(2),(3) UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
konsumen belum dipenuhi oleh pelaku usaha.
Kata Kunci : Keadilan
dalam Bisnis, Keadilan Konsumen
1. Pendahuluan
Pesatnya perkembangan teknologi dan informasi telah menghasilkan variasi
produk barang atau jasa. Perkembangan tekonologi dan informasi memberikan
dampak positif dalam dunia pertelekomunikasian di Indonesia . Sebelum berkembangnya
telepon seluler, di Indonesia telah berkembang telepon rumah, dan pager sebagai
alat komunikasi yang tidak mengenal jarak dan waktu. Tetapi masa itu tidak
semua orang dapat menikmati fasilitas komunikasi tersebut, kemudian latah ini
di ikuti oleh perkembangan telepon seluler komersial yang bangkit kembali di
awal tahun 90 an.
Tuntutan zaman yang semakin canggih, menyebabkan terjadinya perubahan
paradigma dalam masyarakat. Telpon seluler yang semula hanya berfungsi sebagai gaya hidup kini berubah
menjadi kebutuhan pokok. Salah satu fasilitas pokok yang melekat pada ponsel
adalah short message service (sms). Tingginya permintaan masyarakat terhadap
kebutuhan telekomunikasi murah menyebabkan pelaku usaha berlomba-lomba untuk
memperoleh keuntungan dengan memanfaatkan animo masyarakat menggunakan layanan
sms.
Dalam masyarakat acap kali ada anggapan bahwa bisnis tidak mempunyai hubungan
dengan etika atau moralitas, Richard De Groge menyebut pandangan ini sebagai
“the myth of amoral bussines” (K. Bartens, 2003;376). Berdasarkan pandangan
yang keliru ini, pelaku usaha akan menghalalkan berbagai cara untuk memperoleh
keuntungan. Salah satu bentuk perilaku bisnis yang hanya mementingkan profit
tanpa memperdulikan hak-hak masyarakat sebagai konsumen adalah kasus penetapan
harga (price fixing) sms yang dilakukan oleh 6 Operator telepon seluluer di Indonesia .
Penetapan harga yang dilakukan oleh PT. Excelcomindo Pratama,Tbk., PT
Telekomunikasi Selular, Tbk., PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk., PT. Bakrie
Telecom, Tbk., PT. Mobile-8 Telecom, Tbk., PT. Smart Telecom, Tbk., telah
merugikan masyarakat sebagai konsumen dengan jumlah kerugian mencapai Rp
2.827.700.000.000 (Putusan Perkara Nomor: 26/KPPU-L/2007). Ke-6 operator
seluler berdasarkan Putusan KPPU telah mendapatkan sanksi denda sejumlah RP. 52
milyar rupiah kepada Negara karena telah terbukti melakukan kartel dalam bentuk
perjanjian penetapan harga, tetapi terkait perlindungan konsumen, sampai saat
ini, hak konsumen untuk mendapatkan ganti kerugiaan sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Pasal 19 ayat (1),(2),(3) UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
konsumen belum dipenuhi oleh pelaku usaha.
- Landasan
Teori
2.1 Keadilan Konsumen
Dalam kaitan dengan keterlibatan sosial, tanggung
jawab sosial perusahaan berkaitan langsung dengan penciptaan atau perbaikan
kondisi sosial ekonomi yang semakin sejahtera dan merata. Tidak hanya dalam
pengertian bahwa terwujudnya keadilan akan menciptakan stabilitas sosial yang
akan menunjang kegiatan bisnis, melainkan juga dalam pengertian bahwa sejauh
prinsip keadilan dijalankan akan lahir wajah bisnis yang lebih baik dan etis.
Tidak mengherankan bahwa hingga sekarang keadilan selalu menjadi salah satu
topic penting dalam etika bisnis.
2.2 Azas dan Tujuan Perlindungan Konsumen
·
Asas Manfaat
Mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan
konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen
dan pelaku usaha secara keseluruhan.
·
Asas Keadilan
Partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan
memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya
dan melaksanakan kewajibannya secara adil.
·
Asas Keseimbangan
Memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan
pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual.
·
Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen
Memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalarn
penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau
digunakan;
·
Asas Kepastian Hukum
Baik pelaku usaha maupun konsumen mentaati hukum dan memperoleh keadilan
dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.
Menurut Undang-undang no. 8 tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen :
Pasal 1 butir 1,2,dan 3 :
Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang
menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen
Konsumen adalah
setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik
bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain
dan tidak untuk diperdagangkan.
Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau
badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang
didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara
Republik Indonesia ,
baik sendiri maupun bersamasama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan
usaha dalam berbagai bidang ekonomi.
- Metodologi
3.1 Objek Penelitian
Penulis melakukan penelitian terhadap 6 0perator
Seluler di Indonesia, yaitu PT. Excelcomindo Pratama,Tbk., PT Telekomunikasi
Selular, Tbk., PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk., PT. Bakrie Telecom, Tbk., PT.
Mobile-8 Telecom, Tbk., PT. Smart Telecom, Tbk.
3.2 Metode Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, penulis mengumpulkan data dengan
cara teknik pengumpulan data, yaitu:
1.
Metode Kepustakaan (Library Research)
Penelitian ini menggunakan studi kepustakaan yang diambil dari buku literature
yang akan dijadikan landasan teori dalam penelitian ini.
2.
Internet
Pengumpulan data melalui internet dan jurnal-jurnal yang berhubungan
dengan masalah atau latar belakang masalah yang diteliti.
4. Pembahasan
4.1 Price Fixing
Salah satu fitur layanan yang paling populer bagi
konsumen pengguna telpon seluler adalah short message service (sms). Tujuan
awal dari fitur sms adalah memberikan kemudahan layanan bagi konsumen untuk
berkomunikasi dengan biaya yang relatif lebih murah dibandingkan dengan layanan
panggilan. Pada tahun 2007, masyarakat sebagai konsumen pengguna jasa sms,
dikejutkan dengan temuan KPPU yang menduga adanya kecurangan yang dilakukan
oleh beberapa operator seluler di Indonesia .
Dalam proses pemeriksaan, terungkap bahwa ternyata ada
kesepakatan tertulis yang ditandatangani oleh beberapa operator seluler mengenai penetapan tarif sms (price fixing). Dalam dunia usaha memang
banyak ditemukan perjanjian-perjanjian dan kegiatan-kegiatan usaha yang
mengandung unsur-unsur ketidakadilan terhadap pihak yang ekonomi atau sosialnya
lebih lemah dengan dalih pemeliharaan persaingan usaha yang sehat.
Tidak dapat dipungkuri bahwa dibalik praktik bisnis,
ada berbagai macam persaingan misalnya : ada persaingan usaha yang sehat dan
adil (fair competition), ada persaingan yang tidak sehat (unfair competition),
ada persaingan yang desdruktif (desdructive competition), seperti predatory
price. Perilaku anti persaingan seperti persaingan usaha yang tidak sehat dan
persaingan desdruktif akan mengakibatkan in-efisiensi perekonomian berupa
hilangnya kesejahteraan (economic walfare), bahkan mengakibatkan keadilan
ekonomi dalam masyarakat pun terganggu dan timbulnya akibat-akibat ekonomi dan
sosial yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum, maupun
kepentingan umum.
Salah satu bentuk persaingan usaha tidak sehat yang
dapat dilakukan oleh pelaku usaha untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya adalah dengan melakukan
kartel. Dalam Black’s Law Dictionary, kartel diterjemahkan sebagai suatu
kerjasama dari produsen-produsen produk tertentu yang bertujuan untuk mengawasi
produksi, penjualan dan harga, dan untuk melakukan monopoli terhadap komunitas
atau industri tertentu (Fuady,1999:63). Sebagaimana disebutkan dalam ketentuan
Pasal 11 UU No. 5 tahun 1999, tujuan dari kartel adalah untuk mempengaruhi
harga yang dilakukan dengan jalan mengatur produksi dan/atau pemasaran barang
dan/ atau jasa tertentu. Salah satu bentuk kartel yang paling nyata dalam kasus
ini adalah perjanjian penetapan harga (price fixing).
Dalam Black’s Law Dictionary, penetapan harga (price
fixing) diartikan sebagai “a combination formed for the purpose of and with the
effect of raising, depressing, fixing, pegging, or stabilizing, the price of a
commodity”, sedangkan dalam Kamus Lengkap yang disusun oleh Cristopher Pass dan
Bryan Lowes, penetapan harga diartikan sebagai penentuan harga (price) umum
untuk suatu barang atau jasa oleh suatu kelompok pemasok yang bertindak secara
bersama-sama, sebagai kebalikan atas pemasok yang menetapkan harganya sendiri
secara bebas.
Larangan terhadap perjanjian penetapan harga (price
fixing) diatur dalam Pasal 5 ayat (1)
dan (2) UU No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat. Dalam ketentuan tersebut diatur bahwa pelaku usaha dilarang
untuk mengadakan perjanjian dengan pesaingnya untuk menetapkan harga barang
atau jasa yang harus dibayarkan oleh konsumen.
Dampak dari adanya kartel sms adalah kerugian konsumen
secara materiil maupun immateriel. Saat ini, peraturan perudang-undangan yang
menjadi dasar hukum perlindungan konsumen adalah UU No. 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen. Sebelum disahkanya UU No. 8 Tahun 1999, perlindungan
konsumen tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia .
Dalam Ketentuan Umum UU No. 8 Tahun 1999, dijelaskan
bahwa yang dimaksud dengan “konsumen adalah setiap orang pemakai barang
dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri
sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk
diperdagangkan”.
4.2 Analisis Permasalahan
Dengan dalih ingin menjaga kestabilan jaringan dan
meningkatkan efisiensi dan efektifitas sistem jaringan telekomunikasi, PT
Excelcomindo Pratama,Tbk., PT Telekomunikasi Selular, Tbk., PT Telekomunikasi
Indonesia, Tbk., PT. Bakrie Telecom, Tbk., PT. Mobile-8 Telecom, Tbk., PT.
Smart Telecom, Tbk., membuat Perjanjian Kerjasama (PKS) Interkoneksi. PKS
Interkoneksi yang dibuat oleh ke-6 Operator seluler tersebut memuat klausula
penetapan harga sms off-net minimum, yaitu sebesar Rp.250/sms dengan range
Rp.250-350/sms, padahal berdasarkan hasil perhitungan yang dilakukan oleh KPPU,
tarif sms kompetitif hanya RP.114/sms.
Berdasarkan perhitungan KPPU dengan perkiraan harga
kompetitif dari sms off-net sebesar RP.114/sms, maka dengan menghitung selisih pendapatan
berdasarkan perjanjian penetapan harga dengan harga kompetitif sms off-net dari
ke-6 Operator secara materiil perjanjian penetapan harga tersebut telah
merugikan masyarakat sebagai konsumen dengan jumlah kerugian mencapai Rp
2.827.700.000.000 (dua triliun delapan ratus dua puluh tujuh milyar tujuh ratus
juta rupiah). Dari sudut pandang hukum, penetapan harga yang dilakukan oleh
ke-6 Operator seluler tersebut tidak dapat dibenarkan karena tindakan tersebut
merupakan perbuatan melawan hukum. Tindakan ke-6 Operator seluler tersebut
telah melanggar ketentuan Pasal 5 UU No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Akibat perjanjian penetapan harga yang dilakukan oleh
ke-6 Operator seluler tersebut, konsumen
mengalami kerugian berupa hilangnya kesempatan untuk memperoleh harga sms yang
lebih rendah, konsumen kehilangan kesempatan untuk memperoleh sms yang lebih
banyak dengan harga yang sama, serta terbatasnya aternatif pilihan bagi
konsumen pada periode 2004 sampai dengan April 2008. Beberapa hak konsumen yang
telah dilanggar oleh operator sebagai pelaku usaha sebagaimana diatur dalam
ketentuan Pasal 4 UU No. 8 Tahun 1999 adalah:
1. hak
konsumen untuk memilih barang/jasa sesuai dengan nilai tukarnya
2. hak atas informasi yang benar,
jelas dan jujur
3. hak untuk diperlakukan dan
dilayani secara benar dan jujur
4. hak untuk
mendapat konspensasi, ganti rugi dan atau penggantian apabila barang dan jasa
yang diterima tidak sebagaimana mestinya
5. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan
upaya penyelesaian sengeketa perlidungan kosumen secara patut
Apabila dilihat dari segi pemenuhan kewajiban,
operator seluler sebagai pelaku usaha tidak mengindahkan kewajibannya, dalam
hal beritikat baik dalam melakukan kegiatan usaha, memberikan informasi yang
benar, jelas dan jujur mengenai kondisi layanan, memperlakukan kosumen secara
benar dan jujur, memberikan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas
kerugiaan akibat penggunaan dan pemanfaatan barang atau jasa yang
diperdagangkan.
Antara konsep dan realita sering kali tidak seiring
sejalan. UU No. 8 Tahun 1999 yang diharapkan dapat menjadi senjata bagi pencari
keadilan, dalam implementasinya ternyata harus menghadapi berbagai kendala.
Terkait dengan pertanggungjawaban, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 19
UU No. 8 Tahun 1999, dalam memenuhi rasa keadilan seharusnya pelaku usaha
bertanggungjawab secara langsung kepada konsumen dengan memberikan ganti rugi tanpa
perlu melalui proses dan prosedur yang panjang. Pada kenyataannya konsumen yang
secara nyata telah dirugikan harus tetap melalui proses dan prosedur yang
panjang untuk memperoleh ganti kerugiaan. Proses dan prosedur yang sulit
menyebabkan konsumen bersikap pasif, tidak perduli dan masa bodo menanggapi
kerugian yang telah mereka alami selama bertahun-tahun.
Keadilan dalam konsep pemenuhan hak konsumen untuk
mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengeketa
perlidungan kosumen secara patut pun belum dilakukan oleh pemerintah.
Seharusnya, untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat, pemerintah bekerjasama
dengan BPSK atau LPKSM mengupayakan semaksimal mungkin pemenuhan hak konsumen
untuk memperoleh ganti kerugian. Dalam konteks keadilan seharusnya pelaku usaha
dengan penuh kesadaran memenuhi semua kewajiban untuk memberikan ganti kerugian
kepada konsumen yang dirugikan sebagaimana diamanatkan dalam ketentuan Pasal 7
UU no. 8 Tahun 1999.
Dengan adanya asas kepastian hukum dalam ketentuan UU
No. 8 Tahun 1999, terkait kasus ini
konsumen menggalami kesulitan untuk memperoleh hak-haknya. Sejak mengemukanya
kasus kartel sms, sampai dengan saat ini konsumen belum memperoleh kompensasi
ganti kerugian dalam bentuk apapun dari ke-6 operator. Untuk memperoleh ganti
kerugian, konsumen harus melakukan upaya hukum yang membutuhkan proses dan
prosedur panjang serta membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Pada tataran
implementasinya, upaya hukum yang harus dilakukan oleh konsumen tidak semudah
yang dibayangkan. Ketentuan hukum UU No. 8 Tahun 1999 tidak sesuai dengan
harapan yaitu menyelesaikan sengketa konsumen dengan cepat, sederhana dan biaya
murah.
Dalam kasus kartel yang dilakukan oleh ke-6 operator
seluler tersebut, KPPU hanya dapat
memberikan sanksi terkait kasus penetapan harga, sehingga KPPU tidak berhak
untuk memutus sanksi ganti kerugiaan bagi konsumen. Oleh karena itu, untuk
memperoleh ganti kerugiaan, konsumen sebagai pihak yang dirugikan harus
terlebih dahulu menempuh jalur hukum sebagaimana yang telah diatur dalam
ketentuan UU No. 8 Tahun 1999.
Untuk menuntut ganti kerugiaan seharusnya konsumen
mengajukan gugatan kepada pelaku usaha secara class action agar diperoleh
Putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Dengan memiliki Putusan yang mempunyai
kekuatan hukum tetap, maka hak-hak dan ganti kerugian bagi konsumen dapat
dipaksakan pelaksanaannya kepada ke-6 operator seluler tersebut.
- Penutup
5.1 Kesimpulan
Terkait kasus kartel sms yang dilakukan oleh 6
operator seluler di Indonesia
yang telah merugikan konsumen sebesar Rp 2.827.700.000.000 (dua triliun delapan
ratus dua puluh tujuh milyar tujuh ratus juta rupiah), hukum perlindungan
konsumen di Indonesia
belum dapat memberikan keadilan bagi konsumen yang dirugikan. Untuk memenuhi
rasa keadilan dalam masyarakat seharusnya konsumen tidak perlu menempuh proses
dan prosedur yang sulit untuk memperoleh kompensasi ganti kerugian. Mengacu
pada Putusan KPPU, konsumen secara nyata telah dirugikan oleh ke-6 operator
seluler tersebut. Untuk memberikan perlindungan terhadap kosumen, seharusnya
asas-asas dalam undang-undang dilaksanakan secara berimbang agar UU No. 8 Tahun
1999 dapat memberikan perlindungan konsumen dengan sederhana, cepat, dan biaya
murah.
Daftar Pustaka
Anonimos,
Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar